21 Februari 2013

Kajian Yuridis Eksistensi Peradi Dan KAI

Hingga saat ini, belum terlihat tanda-tanda penyelesaian kemelut antara Perhimpunan Advokat Indonesia(Peradi) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Kedua organisasi advokat yang berseteru itu masih bertahan pada pendirian sebagai organisasi tunggal advokat yang sah sesuai undang-undang.

Bahkan, untuk menunjukkan bahwa eksistensi mereka memperoleh dukungan dari berbagai pihak, berbagai safari dilakukan untuk menemui Presiden, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan lain-lain.
Cara-cara yang ditempuh kedua organisasi advokat tersebut bukanlah solusi terbaik untuk keluar dari kemelut. Sebaliknya, cara demikian justru mempertontonkan kepada publik ketidakmampuan para advokat menyelesaikan kemelut rumah tangganya sendiri, serta membuka celah intervensi pihak luar atas konflik yang dihadapinya.

Organisasi advokat justru mencari gantungan ke atas, yang beresiko menimbulkan dampak negatif terhadap kemandiriannya. Padahal, akan lebih terhormat dan bermartabat apabila yang dicari adalah solusi penyelesaian melalui hukum.
Solusi penyelesaian melalui hukum dimaksud misalnya dengan meminta pendapat hukum (legal opinion) dari para ahli hukum yang netral yang kredibilitasnya tidak diragukan. Atau, meminta beberapa fakultas hukum melakukan kajian hukum dari berbagai aspek, misalnya aspek hukum administrasi, tata negara, perdata, pidana, dan lain-lain. Bahkan, jika perlu, memberi mereka wewenang untuk melakukan mediasi.
Dalam kaitan itu, tulisan ini ingin memberikan alternatif solusi bagi kemelut antarorganisasi advokat yang berlarut-larut.

Persoalan Hukum


Salah  satu persoalan hukum (legal issue) yang harus dipecahkan adalah, apakah eksistensi kedua organisasi advokat itu (Peradi dan KAI) sah secara yuridis ditinjau dari Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003?
Menyangkut hal ini, Tim 5 pernah menyampaikan pendapat bahwa eksistensi kedua organisasi itu tidak sah dan mengandung cacat yuridis, karena keduanya dibentuk melampaui batas waktu yang ditetapkan undang-undang.

Pengurus Peradi tetap berpendapat bahwa satu-satunya organisasi advokat yang sah sesuai dengan undang-undang adalah Peradi. Karena menurut mereka, Peradi telah dideklarasikan pada 20 Desember 2004 dan dikuatkan dengan akte notaris Buntario Tigris Darmawan, 3 September 2005 di Jakarta. Dengan demikian, Peradi dideklarasikan sebelum berakhirnya batas waktu yang ditentukan undang-undang, karenanya sah secara yuridis.

Sementara KAI melihat Peradi tidak sah dan cacat hukum, karena cara pembentukannya tidak dilakukan melalui sebuah kongres, sehingga dianggap tidak representatif. Bahkan, sebagian nama yang tercantum dalam akte notaris pendirian Peradi tidak berstatus advokat. Bagi sebagian advokat ini dianggap sebagai penghinaan terhadap kehormatan profesi advokat, karena organisasinya justru didirikan oleh mereka yang tidak berstatus advokat. Inilah yang menjadi faktor utama digelarnya kongres advokat dan melahirkan KAI.


UU Advokat

UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 disahkan dan dinyatakan mulai berlaku sejak 5 April 2003. Dalam undang-undang itu dirumuskan pengertian organisasi advokat adalah organisasi advokat yang dibentuk selambat-lambatnya dua tahun setelah berlakunya UU Advokat, atau organisasi advokat yang dibentuk sebelum 5 April 2005. Dengan demikian, organisasi advokat yang dinyatakan sah secara yuridis adalah organisasi advokat yang dibentuk sebelum 5 April 2005.

Ketentuan Pasal 32 ayat 4 merupakan kaidah hukum yang isinya memberikan perintah (gebod) dan kewajiban kepada para advokat untuk membentuk organisasi advokat sebelum 5 April 2005. Artinya, ketentuan itu secara attributive memberikan kewenangan kepada para advokat untuk membentuk suatu organisasi advokat selambat-lambatnya dua tahun sejak disahkan dan dinyatakan berlakunya undang-undang tersebut, yakni paling lambat 5 April 2005.

Menurut ajaran kewenangan, pembentukan kedua organisasi advokat itu bukan merupakan perbuatan hukum yang sah dan batal demi hukum, karena pembentukannya telah melampaui batas waktu kewenangan yang ditentukan dalam Pasal 32 ayat 4 (onbevoegheid ratione tempori). Dengan demikian, kedua organisasi advokat itu dibentuk oleh subjek hukum yang tidak lagi memiliki wewenang membentuknya.

Mengingat secara yuridis pembentukan kedua organisasi advokat itu dianggap tidak pernah ada, maka keadaan harus dikembalikan kepada keadaan semula sebelum dibentuknya kedua organisasi advokat itu (ex-tunc) dan segala tindakan yang pernah dilakukan beserta segala akibat hukum yang ditimbulkannya juga dianggap tidak pernah ada.

Oleh karena perintah atau kewajiban yang diberikan undang-undang itu tidak  mungkin dapat dilaksanakan oleh para advokat sesuai batas waktu yang ditentukan, maka timbul persoalan, upaya hukum apakah yang dapat ditempuh untuk keluar dari kemelut hukum tersebut?

Dalam ilmu hukum disediakan beberapa cara penyelesaian untuk menerobos kemelut hukum seperti ini. Pertama, melalui lembaga “pembebasan” (dispensasi, ontheffing, vrijstelling), yakni agar suatu perbuatan yang tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang dapat dilakukan, perlu dimohonkan pembebasan/ kelonggaran terhadap persyaratan tersebut. Sehingga, perbuatan tetap dapat dilakukan, meskipun tidak memenuhi persyaratan. Persetujuan terhadap kelonggaran untuk mengenyampingkan persyaratan itu, haruslah dimohonkan lebih dahulu baru kemudian perbuatan dapat dilaksanakan.

Kedua, melalui lembaga “pemutihan”, di mana perbuatan telah dilakukan lebih dahulu, sedangkan persyaratan/ketentuan tidak mungkin untuk dipenuhi, maka terhadap ketentuan itu diberikan kelonggaran. Sehingga, ketentuan yang telah melampaui batas waktu yang ditentukan dan tidak mungkin dipenuhi dapat dikesampingkan.

Perbedaan kedua cara penyelesaian tersebut terletak pada waktu perbuatan dilakukan dan dipenuhinya persyaratan. Penyelesaian melalui lembaga pembebasan, persyaratan harus lebih dahulu dinyatakan dikesampingkan, karena tidak mungkin dipenuhi,  kemudian barulah perbuatan dapat dilakukan. Sebaliknya, melalui lembaga pemutihan perbuatan telah dilakukan lebih dahulu, kemudian barulah persyaratan dinyatakan dikesampingkan karena persyaratan tidak mungkin dipenuhi.

Dalam tataran teoritis, kedua cara penyelesaian tersebut dimungkinkan untuk ditempuh. Namun dalam tataran praktis, muncul persoalan: lembaga manakah yang memiliki kewenangan memberikan pembebasan atau pemutihan tersebut?

Jika diserahkan kepada MA, apa dasar hukumnya? Melibatkan MA juga menimbulkan resiko mengundang intervensi, sehingga patut dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif terhadap kemandirian organisasi advokat.

Salah satu solusi terbaik adalah memohon legislatif review kepada DPR untuk melakukan revisi terhadap ketentuan Pasal 32 ayat 4 UU Advokat, sehingga akan lahir atribusi baru bagi advokat untuk dapat memulai dan menyelenggarakan kongres, guna membentuk suatu organisasi advokat “baru” sebagai satu-satunya wadah tunggal profesi advokat.

Dengan demikian, akan terbentuk suatu wadah tunggal organisasi advokat yang sah tanpa mengandung cacat hukum. Perpecahan di lingkungan profesi advokat dapat diakhiri dengan cara terhormat, dan seluruh kaidah hukum dalam UU Advokat dapat ditegakkan. Tidak ada lagi yang mengganjal dan semua mulai lagi dari “kilometer nol”.

Akhirnya, konsekuensi yuridis dari pernyataan kedua organisasi advokat itu tidak sah dan batal demi hukum dan segala tindakan yang dilakukannya juga dinyatakan batal demi hukum serta dianggap tidak pernah ada, tentunya akan menimbulkan persoalan hukum yang harus dicarikan solusi hukumnya.

Misal, bagaimana soal pendidikan khusus profesi advokat dan status hukum para advokat muda? Mungkin melalui kongres dapat dibuatkan suatu keputusan yang menyatakan segala kegiatan yang pernah dilakukan kedua organisasi advokat tersebut dinyatakan sah dan mengikat.

Dengan demikian, seluruh persoalan hukum beserta akibat hukumnya dapat diselesaikan. 

Sumber :
http://novelwan.multiply.com/journal/item/64?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem