15 Februari 2012

Debt collector dan Premanisme

Untuk saat ini yang dapat kita lihat persamaan dilapangan antara debt collector dan premanisme keduanya sama-sama mengedepankan tindakan kekerasan dalam  hal penagihan terhadap debitur.
Seharusnya sebagai pihak ketiga dalam penyelenggara pelayanan jasa penagihan hutang  sebelum mendirikan pelayanan jasa ini sudah harus memiliki standar oprasional dan prosedur dalam jasa pelayanannya.  Jika kita berkaca sebagai perbandingan pada Negara Amerika  yang saya kutip dari detik.com untuk mendapatkan gambaran proporsional dan professional tentang tugas pokok dan fungsi para debt collector agar lebih tertib dan menenteramkan.
Fair Debt Collection Practices Act (FDCPA) merupakan undang-undang  yang ditambahkan pada tahun 1978 sebagai Judul VIII dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen Kredit. Undang-undang ini di Negara Amerika menciptakan pedoman dimana penagih utang dapat melakukan bisnis, menentukan hak konsumen terlibat dengan penagih utang, dan menetapkan hukuman dan solusi untuk pelanggaran dari Undang-Undang. Definisi "konsumen" dan "hutang" dalam UU ini khusus membatasi cakupan tindakan untuk transaksi pribadi, keluarga atau rumah tangga. Dengan demikian, utang yang dimiliki oleh perusahaan (atau oleh individu untuk tujuan bisnis) tidak tunduk pada FDCPA.
Undang-undang ini melarang jenis tertentu melakukan "kasar dan menipu" ketika mencoba untuk menagih utang, termasuk yang berikut :
  • Pertama, jam untuk menghubungi konsumen melalui telepon tidak boleh di luar jam 8:00-9:00 pm waktu setempat. 
  • Kedua, berkomunikasi dengan konsumen dengan cara apapun (selain litigasi) setelah menerima pemberitahuan tertulis yang mengatakan konsumen tidak ingin komunikasi lebih lanjut atau menolak untuk membayar utang yang dituduhkan, dengan pengecualian tertentu, termasuk menyarankan bahwa upaya pengumpulan diakhiri atau bahwa kolektor bermaksud untuk mengajukan gugatan atau mengejar solusi lain jika diizinkan. 
  • Ketiga, telepon berulang-ulang atau terus-menerus dengan maksud untuk mengganggu, pelecehan, atau melecehkan konsumen.
  • Keempat, berkomunikasi dengan konsumen di tempat kerja mereka setelah diberi tahu bahwa ini tidak dapat diterima atau dilarang oleh majikan.
  • Kelima, menggunakan bahasa yang kasar dalam proses komunikasi yang berkaitan dengan utang. Keenam, menceritakan kejelekan konsumen kepada pihak ketiga. Dan masih banyak lagi butir-butir lainnya yang menegaskan attitude positif seorang debt collector.
Sedangkan di Negara kita pengaturan dalam ketentuan Undang-undang pun belum lah ada, sehingga saat ini keberadaan penyelenggara pelayanan jasa penagihan hutang (debt collector) banyak di pertanyakan, disatu sisi dari pihak kreditur tentunya dalam hal ini adalah pihak (bank)sangat memerlukan jasanya guna mengembalikan dana yang sudah dipinjam oleh debitur dan disisi lain dari pihak debitur  banyak sekali tindakan kurang manusiawi yang mereka rasakan. Oleh sebab itu sudah seharusnya pemerintah dan DPR membentuk pengaturan yang lebih jelas mengenai keberadaan debt collector agar pelayanan jasa ini tidak lah sewenang-wenang dalam menjalankan oprasionalnya.
Untuk saat ini yang dapat kita lihat persamaan dilapangan antara debt collector dan premanisme keduanya sama-sama mengedepankan tindakan kekerasan dalam hal penagihan terhadap debitur. Seharusnya sebagai pihak ketiga dalam penyelenggara pelayanan jasa penagihan hutang sebelum mendirikan pelayanan jasa ini sudah harus memiliki standar oprasional dan prosedur dalam jasa pelayanannya. Jika kita berkaca sebagai perbandingan pada Negara Amerika yang saya kutip dari detik.com untuk mendapatkan gambaran proporsional dan professional tentang tugas pokok dan fungsi para debt collector agar lebih tertib dan menenteramkan.

Fair Debt Collection Practices Act (FDCPA) merupakan undang-undang yang ditambahkan pada tahun 1978 sebagai Judul VIII dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen Kredit. Undang-undang ini di Negara Amerika menciptakan pedoman dimana penagih utang dapat melakukan bisnis, menentukan hak konsumen terlibat dengan penagih utang, dan menetapkan hukuman dan solusi untuk pelanggaran dari Undang-Undang. Definisi "konsumen" dan "hutang" dalam UU ini khusus membatasi cakupan tindakan untuk transaksi pribadi, keluarga atau rumah tangga. Dengan demikian, utang yang dimiliki oleh perusahaan (atau oleh individu untuk tujuan bisnis) tidak tunduk pada FDCPA.
Undang-undang ini melarang jenis tertentu melakukan "kasar dan menipu" ketika mencoba untuk menagih utang, termasuk yang berikut :
  • Pertama, jam untuk menghubungi konsumen melalui telepon tidak boleh di luar jam 8:00-9:00 pm waktu setempat.
  • Kedua, berkomunikasi dengan konsumen dengan cara apapun (selain litigasi) setelah menerima pemberitahuan tertulis yang mengatakan konsumen tidak ingin komunikasi lebih lanjut atau menolak untuk membayar utang yang dituduhkan, dengan pengecualian tertentu, termasuk menyarankan bahwa upaya pengumpulan diakhiri atau bahwa kolektor bermaksud untuk mengajukan gugatan atau mengejar solusi lain jika diizinkan.
  • Ketiga, telepon berulang-ulang atau terus-menerus dengan maksud untuk mengganggu, pelecehan, atau melecehkan konsumen.
  • Keempat, berkomunikasi dengan konsumen di tempat kerja mereka setelah diberi tahu bahwa ini tidak dapat diterima atau dilarang oleh majikan.
  • Kelima, menggunakan bahasa yang kasar dalam proses komunikasi yang berkaitan dengan utang.
  • Keenam, menceritakan kejelekan konsumen kepada pihak ketiga. Dan masih banyak lagi butir-butir lainnya yang menegaskan attitude positif seorang debt collector.
Sedangkan di Negara kita pengaturan dalam ketentuan Undang-undang pun belum lah ada, sehingga saat ini keberadaan penyelenggara pelayanan jasa penagihan hutang (debt collector) banyak di pertanyakan, disatu sisi dari pihak kreditur tentunya dalam hal ini adalah pihak (bank)sangat memerlukan jasanya guna mengembalikan dana yang sudah dipinjam oleh debitur dan disisi lain dari pihak debitur banyak sekali tindakan kurang manusiawi yang mereka rasakan. Oleh sebab itu sudah seharusnya pemerintah dan DPR membentuk pengaturan yang lebih jelas mengenai keberadaan debt collector agar pelayanan jasa ini tidak lah sewenang-wenang dalam menjalankan oprasionalnya.