Nota Kesepahaman atau juga biasa disebut dengan Memorandum of Understanding ("MoU") atau pra-kontrak,
pada dasarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional di Indonesia. Akan
tetapi dalam praktiknya, khususnya bidang komersial, MoU sering
digunakan oleh pihak yang berkaitan.
MoU
merupakan suatu perbuatan hukum dari salah satu pihak (subjek hukum)
untuk menyatakan maksudnya kepada pihak lainnya akan sesuatu yang
ditawarkannya ataupun yang dimilikinya. Dengan kata lain, MoU pada
dasarnya merupakan perjanjian pendahuluan, yang mengatur dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum membuat perjanjian yang lebih terperinci dan mengikat para pihak pada nantinya.
Mengutip dari Jawaban Biro riset Legislatif bahwa MoU didefinisikan dalam Black’s Law Dictionary sebagai bentuk Letter of Intent. Adapun Letter of Intent didefinisikan:
“A written
statement detailing the preliminary understanding of parties who plan to
enter into a contract or some other agreement; a noncommittal writing
preliminary to acontract. A letter of intent is not meant to be binding
and does not hinder the parties from bargaining with a third party.
Business people typically mean not to be bound by a letter of intent,
and courts ordinarily do not enforce one, but courts occasionally find
that a commitment has been made...”
Dengan terjemahan bebasnya:
“Suatu
pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman awal pihak yang berencana
untuk masuk ke dalam kontrak atau perjanjian lainnya, suatu tulisan
tanpa komitmen/tidak menjanjikan suatu apapun sebagai awal untuk
kesepakatan. Suatu Letter of Intent tidak dimaksudkan untuk mengikat dan
tidak menghalangi pihak dari tawar-menawar dengan pihak ketiga.
Pebisnis biasanya berarti tidak terikat dengan Letter of Intent, dan
pengadilan biasanya tidak menerapkan salah satu, tapi pengadilan
kadang-kadang menemukan bahwa komitmen telah dibuat/disepakati...”
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa MoU melingkupi hal-hal sebagai berikut:
1) MoU merupakan pendahuluan perikatan (landasan kepastian);
2) Content/isi materi dari MoU hanya memuat hal-hal yang pokok-pokok saja;
3) Dalam MoU memilki tenggang waktu, dengan kata lain bersifat sementara;
4) MoU pada kebiasaannya tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban yang memaksa untuk dibuatnya kontrak atau perjanjian terperinci; dan
5) Karena masih terdapatnya keraguan dari salah satu pihak kepada pihak lainnya, MoU dibuat untuk menghindari kesulitan dalam pembatalan.
B. Perjanjian
Perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana salah satu pihak (subjek hukum) berjanji kepada pihak lainnya atau yang mana kedua belah dimaksud saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa suatu perjanjian mengandung unsur sebagai berikut:
a) Perbuatan
Frasa “Perbuatan” tentang Perjanjian ini lebih kepada “perbuatan hukum” atau “tindakan hukum”.Hal
tersebut dikarenakan perbuatan sebagaimana dilakukan oleh para pihak
berdasarkan perjanjian akan membawa akibat hukum bagi para pihak yang
memperjanjikan tersebut.
b) Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih
Perjanjian
hakikatnya dilakukan paling sedikit oleh 2 (dua) pihak yang saling
berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan satu sama lain. Pihak
tersebut adalah orang atau badan hukum (subjek hukum).
c) Mengikatkan diri
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Artinya, terdapat akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
Adapun
suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak maka
perjanjian dimaksud haruslah memenuhi syarat-syarat sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPer, yang menyatakan:
1) Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakikat
barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri
pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya
orang tersebut;.
2) Cakap untuk membuat perikatan.
Para
pihak mampu membuat suatu perjanjian, dalam hal ini tidak tekualifikasi
sebagai pihak yang tidak cakap hukum untuk membuat suatu perikatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPer.
Dalam
hal suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap
sebagaimana tersebut di atas, maka Perjanjian tersebut batal demi hukum (Pasal 1446 KUHPer).
3) Suatu hal tertentu.
Perjanjian
harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Dalam hal suatu
perjanjian tidak menentukan jenis objek dimaksud maka perjanjian
tersebut batal demi hukum. Sebagaimana Pasal 1332 KUHPer menentukan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian. Selain itu, berdasarkan Pasal 1334 KUHPer
barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek
perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4) Suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya
causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat.
Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang. Sebagaimana Pasal 1335 KUHPer
menyatakan suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal,
atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak
mempunyai kekuatan hukum.
C. Kekuatan Hukum antara MoU dan Perjanjian
Sejatinya, MoU belumlah melahirkan suatu Hubungan Hukum karena MoU baru merupakan persetujuan prinsip yang dituangkan secara tertulis. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, MoUyang
dituangkan secara tertulis baru menciptakan suatu awal yang menjadi
landasan penyusunan dalam melakukan hubungan hukum/perjanjian.
Kekuatan
mengikat dan memaksa MoU pada dasarnya sama halnya dengan perjanjian
itu sendiri. Walaupun secara khusus tidak ada pengaturan tentang MoU dan
materi muatan MoU itu diserahkan kepada para pihak yang membuatnya.
Di samping itu, walaupun MoU merupakan perjanjian pendahuluan, bukan berarti MoU tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa bagi para pihak untuk mentaatinya dan/atau melaksanakannya.
Perhatikan Isinya bukan Namanya
Terkadang,
ada perjanjian yang diberi nama MoU. Artinya, penamaan dari dokumen
tersebut tidak sesuai dengan isi dari dokumen tersebut. Sehingga MoU
tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat sebagaimana perjanjian.
Dalam
hal suatu MoU telah dibuat secara sah, memenuhi syarat-syarat sahnya
perjanjian sebagaimana disebut dalam Pasal 1320 KUHPer, maka kedudukan
dan/atau keberlakuan MoU bagi para pihak dapat disamakan dengan sebuah
undang-undang yang mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Tentu saja
pengikat itu hanya menyangkut dan sebatas pada hal-hal pokok yang
termuat dalam MoU.
Maka
berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
mengenai kekuatan hukum dari MoU dapat mengikat para pihak, apabila content/isi
dari MoU tersebut telah memenuhi unsur perjanjian sebagaimana telah
diuraikan di atas, dan bukan sebagai pendahuluan sebelum membuat
perjanjian, sebagaimana maksud pembuatan MoU sebenarnya.