16 Juni 2016

Perbedaan MOU dan Perjanjian

A.        Nota Kesepahaman

Nota Kesepahaman atau juga biasa disebut dengan Memorandum of Understanding ("MoU") atau pra-kontrak, pada dasarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional di Indonesia. Akan tetapi dalam praktiknya, khususnya bidang komersial, MoU sering digunakan oleh pihak yang berkaitan.
MoU merupakan suatu perbuatan hukum dari salah satu pihak (subjek hukum) untuk menyatakan maksudnya kepada pihak lainnya akan sesuatu yang ditawarkannya ataupun yang dimilikinya. Dengan kata lain, MoU pada dasarnya merupakan perjanjian pendahuluan, yang mengatur dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum membuat  perjanjian yang lebih terperinci dan mengikat para pihak pada nantinya.
Mengutip dari Jawaban Biro riset Legislatif bahwa MoU didefinisikan dalam Black’s Law Dictionary sebagai bentuk Letter of Intent. Adapun Letter of Intent didefinisikan:
“A written statement detailing the preliminary understanding of parties who plan to enter into a contract or some other agreement; a noncommittal writing preliminary to acontract. A letter of intent is not meant to be binding and does not hinder the parties from bargaining with a third party. Business people typically mean not to be bound by a letter of intent, and courts ordinarily do not enforce one, but courts occasionally find that a commitment has been made...”
Dengan terjemahan bebasnya:
“Suatu pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman awal pihak yang berencana untuk masuk ke dalam kontrak atau perjanjian lainnya, suatu tulisan tanpa komitmen/tidak menjanjikan suatu apapun sebagai awal untuk kesepakatan. Suatu Letter of Intent tidak dimaksudkan untuk mengikat dan tidak menghalangi pihak dari tawar-menawar dengan pihak ketiga. Pebisnis biasanya berarti tidak terikat dengan Letter of Intent, dan pengadilan biasanya tidak menerapkan salah satu, tapi pengadilan kadang-kadang menemukan bahwa komitmen telah dibuat/disepakati...”
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa MoU melingkupi hal-hal sebagai berikut:
1)    MoU merupakan pendahuluan perikatan (landasan kepastian);
2)    Content/isi materi dari MoU hanya memuat hal-hal yang pokok-pokok saja;
3)    Dalam MoU memilki tenggang waktu, dengan kata lain bersifat sementara;
4)    MoU pada kebiasaannya tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban yang memaksa untuk dibuatnya kontrak atau perjanjian terperinci; dan
5)    Karena masih terdapatnya keraguan dari salah satu pihak kepada pihak lainnya, MoU dibuat untuk menghindari kesulitan dalam pembatalan.
B.        Perjanjian
Perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana salah satu pihak (subjek hukum) berjanji kepada pihak lainnya atau yang mana kedua belah dimaksud saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  (“KUHPer”).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa suatu perjanjian mengandung unsur sebagai berikut:
a)    Perbuatan
Frasa “Perbuatan” tentang Perjanjian ini lebih kepada “perbuatan hukum” atau “tindakan hukum”.Hal tersebut dikarenakan perbuatan sebagaimana dilakukan oleh para pihak berdasarkan perjanjian akan membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan tersebut.
b)    Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih
Perjanjian hakikatnya dilakukan paling sedikit oleh 2 (dua) pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum (subjek hukum).
c)     Mengikatkan diri
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Artinya, terdapat akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
Adapun suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak maka perjanjian dimaksud haruslah  memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPer, yang menyatakan:
1)    Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut;.
2)    Cakap untuk membuat perikatan.
Para pihak mampu membuat suatu perjanjian, dalam hal ini tidak tekualifikasi sebagai pihak yang tidak cakap hukum untuk membuat suatu perikatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPer.
Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap sebagaimana tersebut di atas, maka Perjanjian tersebut batal demi hukum (Pasal 1446 KUHPer).
3)    Suatu hal tertentu.
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Dalam hal suatu perjanjian tidak menentukan jenis objek dimaksud maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Sebagaimana Pasal 1332 KUHPer menentukan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian. Selain itu, berdasarkan Pasal 1334 KUHPer barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4)    Suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Sebagaimana Pasal 1335 KUHPer menyatakan suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.
C.        Kekuatan Hukum antara MoU dan Perjanjian
Sejatinya, MoU belumlah melahirkan suatu Hubungan Hukum karena MoU baru merupakan persetujuan prinsip yang dituangkan secara tertulis. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, MoUyang dituangkan secara tertulis baru menciptakan suatu awal yang menjadi landasan penyusunan dalam melakukan hubungan hukum/perjanjian.
Kekuatan mengikat dan memaksa MoU pada dasarnya sama halnya dengan perjanjian itu sendiri. Walaupun secara khusus tidak ada pengaturan tentang MoU dan materi muatan MoU itu diserahkan kepada para pihak yang membuatnya.
Di samping itu, walaupun MoU merupakan perjanjian pendahuluan, bukan berarti MoU tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa bagi para pihak untuk mentaatinya dan/atau melaksanakannya.
Perhatikan Isinya bukan Namanya
Terkadang, ada perjanjian yang diberi nama MoU. Artinya, penamaan dari dokumen tersebut tidak sesuai dengan isi dari dokumen tersebut. Sehingga MoU tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat sebagaimana perjanjian.
Dalam hal suatu MoU telah dibuat secara sah, memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebut dalam Pasal 1320 KUHPer, maka kedudukan dan/atau keberlakuan MoU bagi para pihak dapat disamakan dengan sebuah undang-undang yang mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Tentu saja pengikat itu hanya menyangkut dan sebatas pada hal-hal pokok yang termuat dalam MoU.
Maka berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa mengenai kekuatan hukum dari MoU dapat mengikat para pihak, apabila content/isi dari MoU tersebut telah memenuhi unsur perjanjian sebagaimana telah diuraikan di atas, dan bukan sebagai pendahuluan sebelum membuat perjanjian, sebagaimana maksud pembuatan MoU sebenarnya.

05 Februari 2015

PEMBUATAN SURAT NIKAH





1.     Tentukan Tempat Menikah
Sebelum mengurus surat nikah, tetapkan dulu dimana Anda akan menggelar akad nikad. Lokasi akad nikah ini nantinya akan berpengaruh dalam pengurusan surat nikah. Jika akad nikah akan digelar di area domisili calon pengantin wanita (CPW) maka nanti calon pengantin pria perlu mengurus surat numpang nikah. Jika akad nikah digelar bukan di area domisili CPW maupun calon pengantin pria (CPP) maka dua-duanya perlu mengurus surat numpang nikah.
2.     Waktu Mengurus Surat Nikah
surat nikah wajib diurus selambat-lambatnya 20 hari sebelum berlangsungnya akad nikah. Jika pernikahan Anda sudah disiapkan dari jauh-jauh hari, tak ada salahnya mulai mengurus dari 1-3 bulan sebelum pernikahan. Hal ini agar Anda bisa mendapat penghulu yang sesuai dengan jam akad nikah yang Anda inginkan. Apalagi jika Anda menikah di waktu yang ramai, ada kemungkinan jadwal para penghulu sudah mulai padat terisi.
3.     Surat-surat yang Perlu Disiapkan
  • Foto Copy KTP, siapkan sekitar 4 lembar untuk masing-masing pengantin.
  • Foto Copy Kartu Keluarga, siapkan sekitar 4 lembar untuk masing-masing pengantin Pas Photo Calon Pengantin, berukuran 2x3 masing-masing 4 lembar & 3x4 masing-masing sekitar 4 lembar. Jika menikah beda pulau, siapkan paling tidak 10 lembar.
  • Bagi yang berstatus duda/janda, lampirkan surat Talak/Akta Cerai dari Pengadilan Agama/Negeri.
  • Surat dispensasi dari Pengadilan Agama khusus untuk calon pengantin yang berusia kurang dari 19 tahun (laki-laki), kurang dari 16 tahun (perempuan), atau laki-laki yang akan berpoligami.
  • Bagi anggota TNI/POLRI dan Sipil TNI/POLRI harus ada Izin Kawin dari Pejabat Atasan/Komandan.
  • Ijazah terakhir (ada beberapa KUA yang mensyaratkan, tergantung masing-masing KUA).
  • Materai sekitar 6 lembar.

4.      Proses Pengurusan Surat Nikah
Masing-masing pengantin harus mengurus surat nikah dengan proses sebagai berikut:
  • Menuju RT dan RW setempat untuk mengurus surat pengantar (dokumen: fotokopi KTP 2 lembar.
  • Setelah mendapat surat pengantar, CPW dan CPP mengurus surat N1, N2, dan N4, dan surat keterangan belum menikah ke kelurahan tempat tinggal masing-masing (dokumen: pasfoto 3x4 = 2 lembar, fotokopi KTP CPW & CPP 2 lembar, fotokopi KK CPP & CPW 2 lembar, surat pengantar RT/RW). Untuk dokumentasi sebaiknya fotokopi surat N1, N2, N4, dan surat keterangan belum menikah. 
  • Surat N1, N2 dan N4 kemudian dibawa ke KUA kecamatan masing-masing CPP dan CPW untuk mengurus surat rekomendasi nikah. Jika CPP atau CPW tidak melangsungkan pernikahan di KUA domisili maka perlu mengurus surat numpang nikah.
  • Jika perlu mengurus surat numpang nikah, maka surat rekomendasi dari KUA masing-masing CPP dan CPW setempat dibawa ke KUA kecamatan tempat Anda menikah. Di situ Anda akan melakukan pendaftaran pernikahan, diberi tahu ketersediaan penghulu yang akan menikahkan, serta diberi pembekalan tentang pernikahan. (dokumen: surat rekomendasi nikah dari KUA domisili, pasfoto 2x3 = 4 lembar, dan surat-surat lain dari KUA setempat).
  • Setelah bertemu dengan penghulu yang akan menikahkan Anda, jangan lupa meminta nomor telepon dan alamat rumah penghulu tersebut untuk penjemputan. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi agar pernikahan Anda berjalan lancar. 
  • Total pengurusan biaya surat nikah dari keluarahan sampai KUA ini relative pada masing-masing daerah sekitar kurang lebih Rp. 200 ribu-Rp 500 rbu di luar biaya penghulu. Untuk biaya penghulu pun relative biasanya disampaikan langsung oleh penghulu masing-masing. Jumlah tersebut sebaiknya dibayar separuhnya sebelum nikah lalu dibayar sisanya usai akad nikahnya. Biaya penghulu ini jumlahnya bervariasi mulai dari Rp 200 ribu sampai Rp 1,5 juta.
  • Sekitar satu minggu atau 3 hari sebelum waktu akad nikah, tak ada salahnya menghubungi penghulu untuk mengingatkan.

5.     Simpan Rapih Dokumentasi
Setelah proses mengurus surat selesai, simpan rapih dokumentasi surat tersebut. Percayakan kepada salah satu anggota keluarga atau teman dekat untuk berhubungan dengan penghulu di hari H. Anda sebagai pengantin tentu tak mungkin sibuk mengurusnya. Jangan lupa ingatkan kepada orang yang ditunjuk agar ia juga bertanggungjawab menyimpan buku nikah Anda usai akad nikah.

PROSEDUR GUGATAN CERAI

 

Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat atau isteri atau kuasanya :
1. Tahap membuat surat gugatan
  • Mengajukan Gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah (pasal 118 HIR, 142 Rbg Jo. Pasal 66 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989)
  • Penggugat di anjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’iyah tentang tata cara membuat surat Gugatan (Pasal 119 HIR, 143 Rbg Jo. Pasal 48 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989).
  • Surat Gugatan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat Gugatan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.
2. Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama Mahkamah Syar’iyah:
  • Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat (Pasal 66 ayat 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989).
  • Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (pasal 73 ayat 1 Undang-Undang No. 7 tahun 1989, jo. Pasal 32 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974).
  • Bila penggugat bertempat kediaman diluar negeri, maka Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1989).
  • Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat 3 UU No. 7 tahun 1989)
3. Gugatan tersebut memuat :
  • Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Penggugat dan Tergugat;
  • Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
  • Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita)
4. Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan Gugatan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan (pasal 86 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989);

5. Membayar biaya perkara (pasal 121 ayat 4 HIR, 145 ayat 4 Rbg jo. Pasal 89 UU No. 7 tahun 1989) bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara Cuma-Cuma (Prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 Rbg)

6. Penggugat dan tergugat menghadiri persidangan berdasarkan panggilan pengadilan agama / mahkamah syar’iyah
PROSES PENYELESAIAN PERKARA
  • Penggugat mendaftarkan Gugatan cerai talak ke pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah
  • penggugat dan Tergugat dipanggil oleh Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah untuk menghadiri persidangan.
  • Tahapan Persidangan :
  1. Pada pemeriksaan sidang pertama, Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami isteri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
  2. Apabila tidak berhasil, maka Hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat 1 PERMA No. 2 tahun 2003);
  3. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat Gugatan, Jawaban, Jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan
  4. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Tergugat dapat mengajukan gugtan rekonpensi / gugatan balik (Pasal 132a HIR, 158 Rbg)
  • Putusan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah atas gugatan cerai talak sebagai berikut :
  1. Permohonan di kabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah tersebut.
  2. Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama / mahkamah syar’iyah tersebut.
  3. Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan Guagatan baru.
4. Setelah Ikrar talak diucapkan paitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat 4 UU No. 7 tahun 1989).

Demikian mengenai persyaratan juga prosedur untuk mengajukan gugatan perceraian, semoga bisa bermafaat.

01 Juli 2014

FIAT JUSTITIA RUAT CAELUM

Fiat justitia ruat caelum, artinya Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh.
Kalimat ini diucapkan oleh Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM).
Fiat Justitia Ruat Caelum
Rechstaat
Fiat Justitia Ruat Caelum
Kalimat itu, disanjung dimana-mana. Jaksa selalu bangga mengumandangkannya. Hakim tak henti melantunkannya. Advokat juga tak beda. OC Kaligis, pengacara kawakan, melabelkan kalimat tadi di beranda depan website kantornya. Tahun 1950 lalu, ada hakim di pengadilan negeri Jakarta Pusat mengejar seorang pengacara pagi-pagi. Sebelum sidang, pengacara itu datang lebih pagi menemui hakim tadi. Dia menawarkan uang agar kliennya menang. Hakim itu tak senang, pengacara itu dikejar sampai ke jalanan Gajah Mada, Jakarta. Dia ingin menamparnya. Pengadilan heboh. Hakim itu berujar singkat, “fiat justitia ruat caelum”.
Kalimat itulah yang dijadikan alasan. Untaian kalimat itu, dipuja banyak pengacara. Mereka mengkeramatkan fiat justitia ruat caelum sebagai kalimat yang suci. Mereka percaya, “hukum harus ditegakkan walau langit akan runtuh”. Mereka yakin, kalimat ini harus disanjung setinggi langit biar hukum bisa tegak. Padahal, kalimat itu dikumandangkan karena salah mengadili. Tak jelas juga mengapa dia identik dengan keadilan. Yang jelas, Barat-lah yang berkisah pertama. Mereka yang mempopulerkannya.
Charler Sumner, politisi Inggris di abad 19, berceloteh bahwa susunan kata-kata itu bermula dari epos Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM). Dia ini yang melantunkan pertama. Lucius bilang, di eranya langit adalah kekuatan yang menakutkan. Kala Kaisar Alexandria bertahta, sang raja penguasa Laut Merah, ada seorang pelaut yang menghadap padanya. Pelaut itu duta besar Celtae dari Laut Adriatik. Alexandria bertanya kepadanya, “Apa yang paling menakutkan bagimu?”. Ternyata pelaut itu menjawab berbeda. Alexandria berharap dirinya sosok paling ditakuti siapa saja. Pelaut itu malah berkata, “Jika langit runtuh menimpa mereka, itulah yang paling mengerikan”. Alexandria ternganga. Karena hambanya lebih takut pada langit ketimbang dirinya. Epos ini diprasastikan oleh Arian. Bukunya tentang Operasi Militer Alexandria (Buku I,4) mencatatkan drama ini.
Di jaman itu, langit seolah jadi sosok yang mengancam siapa saja. Sejak itu, adagium ini jadi terkenal di seantero Romawi berjaya. “Quid si redeo ad illos qui aiunt, ‘Quild si nuc caelum ruat?’” (“Bagaimana jika aku berpaling kepada mereka yang berkata, ‘Bagaimana jika sekarang langit akan runtuh?’”). Karena, jaman itu manusia masih percaya sosok Atlas yang memegang bumi dipundaknya. Bila Atlas keseleo tangannya, maka bumi akan hancur dan langit pun runtuh.
Cuma, ada kisah yang berbeda. Katanya, adagium itu bermua dari drama “Piso’s Justice”. Seneca, penyair Romawi, mengceritakan dalam De Ira (Saat Marah). Dia mengarang tentang Gnaeus Piso, seorang Gubernur dan anggota legislatif Romawi. Konon, Piso salah mengadili. Keliru menghukum orang. Dia menghukum serdadu yang tak bersalah. Piso marah melihat ada serdadu yang kembali dari cuti tapi tak bersama dua temannya. Anggapan Piso, jika prajurit itu tak muncul, serdadu itu pasti telah membunuhnya. Dia pun mentitahkan agar serdadu tadi dihukum mati. Tapi begitu hendak dieksekusi, dua serdadu yang diduga mati, muncul tiba-tiba. Komandan prajurit yang hendak mengeksekusi, menghadap Piso. Piso naik ke mimbar seraya berkata, hukuman telah ditetapkan. Piso menetapkan si komandan harus dihukum mati juga. Karena telah menunda eksekusi. Prajurit tadi, di hukum mati juga. Dua serdadu itu? Di hukum mati jua oleh Piso. Alasannya, karena menyebabkan kematian dua orang yang tak berdosa itu.
Sejak itulah, fiat justitia ruat caelum jadi melegenda. Kalimat itu diagungkan buat mengeksekusi apa saja. Kalimat itu dijadikan alasan pembenar, menghukum siapa saja. Asalkan, ada hukuman yang telah ditetapkan.
Abad berjalan. Kalimat itu disanjung banyak orang. Barat yang mulai pertama. Di Inggris, William Watson, sastrawan juga, menuliskannya dalam buah karyanya, “Ten Quodlibetical Quotations Concerning Religion and State” (1601). Dia menyatakan “Anda melanggar istilah yang lazim dalam perundangan, yaitu Fiat justitia et ruant coeli’”. Inilah untuk pertama kalinya kalimat itu muncul didunia modern. Selanjutnya, banyak penyair Inggris yang menirunya juga. William Prynne dalam buku “Fresh Discovery of Prodigious Wandering New-Blazing Stars” (1646). Setahun kemudian, Nathaniel Ward (“Simple Cobbler of Agawam).
Eropa jadi keranjingan. Kaisar Kerajaan Roma, Ferdinand I, mencontek juga. Dia membuat semboyan buat kerajaannya, “Fiat justitia et pereat mundus” (keadilan harus berkuasa sekalipun semua penjahat di dunia musnah). Ferdinand mengutip bukunya Philipp Melanchthons (1521) berjudul Loci Communes.
Lambat laun, kalimat itu merambah pengadilan. Inggris yang mulai pertama. Lord Masnfield, yang membuat debut. Di perkara Somersett, Juni 1772 yang menghapuskan perbudakan di Inggris, dia memasukkan kalimat itu dalam putusannya. Amerika meniru juga. “Fiat justitia” tertulis di bagian bawah lukisan Ketua Hakim Agung, John Marshall. Karya itu berada di ruang konferensi Mahkamah Agung (MA) sana. Di Tennessee, lebih gila lagi. Stempel MA-nya bertuliskan “fiat justitia”. Di lantai lobi bangunan pengadilan di Nashville, kalimat itu dituliskan lebar sekali.
Eh, nusantara ikut-ikutan juga. Semua advokat, dari yang hitam sampai legenda, menuliskan “fiat justitia” dalam pledoi buatannya. Di ranah facebook yang lagi membahana, kalimat ini dijadikan ucapan salam bagi sesama pengacara. Seolah mereka bangga dengannya.
Padahal, Islam telah mengajarkan. “Langit runtuh” pertanda kiamat datang. Pertanda, hukum Tuhan yang harus disanjung. Karena Mahsyar telah dibangkitkan. Tak ada satu manusia pun yang boleh memberikan hukuman. Karena itu cuma milik Tuhan.
Kita meniru, kalimat yang muncul dari Piso yang salah. Padahal Piso keliru mengadili. Piso membunuh tiga prajurit yang tak harus mati. Di bumi pertiwi ini, kalimat ini disanjung tinggi. Kita terus meniru Barat yang sesat. Tak heran, hukum kita pun tak pernah supremasi.
MAHKAMAH, 15 Maret 2009

21 Februari 2013

Kajian Yuridis Eksistensi Peradi Dan KAI

Hingga saat ini, belum terlihat tanda-tanda penyelesaian kemelut antara Perhimpunan Advokat Indonesia(Peradi) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Kedua organisasi advokat yang berseteru itu masih bertahan pada pendirian sebagai organisasi tunggal advokat yang sah sesuai undang-undang.

Bahkan, untuk menunjukkan bahwa eksistensi mereka memperoleh dukungan dari berbagai pihak, berbagai safari dilakukan untuk menemui Presiden, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan lain-lain.
Cara-cara yang ditempuh kedua organisasi advokat tersebut bukanlah solusi terbaik untuk keluar dari kemelut. Sebaliknya, cara demikian justru mempertontonkan kepada publik ketidakmampuan para advokat menyelesaikan kemelut rumah tangganya sendiri, serta membuka celah intervensi pihak luar atas konflik yang dihadapinya.

Organisasi advokat justru mencari gantungan ke atas, yang beresiko menimbulkan dampak negatif terhadap kemandiriannya. Padahal, akan lebih terhormat dan bermartabat apabila yang dicari adalah solusi penyelesaian melalui hukum.
Solusi penyelesaian melalui hukum dimaksud misalnya dengan meminta pendapat hukum (legal opinion) dari para ahli hukum yang netral yang kredibilitasnya tidak diragukan. Atau, meminta beberapa fakultas hukum melakukan kajian hukum dari berbagai aspek, misalnya aspek hukum administrasi, tata negara, perdata, pidana, dan lain-lain. Bahkan, jika perlu, memberi mereka wewenang untuk melakukan mediasi.
Dalam kaitan itu, tulisan ini ingin memberikan alternatif solusi bagi kemelut antarorganisasi advokat yang berlarut-larut.

Persoalan Hukum


Salah  satu persoalan hukum (legal issue) yang harus dipecahkan adalah, apakah eksistensi kedua organisasi advokat itu (Peradi dan KAI) sah secara yuridis ditinjau dari Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003?
Menyangkut hal ini, Tim 5 pernah menyampaikan pendapat bahwa eksistensi kedua organisasi itu tidak sah dan mengandung cacat yuridis, karena keduanya dibentuk melampaui batas waktu yang ditetapkan undang-undang.

Pengurus Peradi tetap berpendapat bahwa satu-satunya organisasi advokat yang sah sesuai dengan undang-undang adalah Peradi. Karena menurut mereka, Peradi telah dideklarasikan pada 20 Desember 2004 dan dikuatkan dengan akte notaris Buntario Tigris Darmawan, 3 September 2005 di Jakarta. Dengan demikian, Peradi dideklarasikan sebelum berakhirnya batas waktu yang ditentukan undang-undang, karenanya sah secara yuridis.

Sementara KAI melihat Peradi tidak sah dan cacat hukum, karena cara pembentukannya tidak dilakukan melalui sebuah kongres, sehingga dianggap tidak representatif. Bahkan, sebagian nama yang tercantum dalam akte notaris pendirian Peradi tidak berstatus advokat. Bagi sebagian advokat ini dianggap sebagai penghinaan terhadap kehormatan profesi advokat, karena organisasinya justru didirikan oleh mereka yang tidak berstatus advokat. Inilah yang menjadi faktor utama digelarnya kongres advokat dan melahirkan KAI.


UU Advokat

UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 disahkan dan dinyatakan mulai berlaku sejak 5 April 2003. Dalam undang-undang itu dirumuskan pengertian organisasi advokat adalah organisasi advokat yang dibentuk selambat-lambatnya dua tahun setelah berlakunya UU Advokat, atau organisasi advokat yang dibentuk sebelum 5 April 2005. Dengan demikian, organisasi advokat yang dinyatakan sah secara yuridis adalah organisasi advokat yang dibentuk sebelum 5 April 2005.

Ketentuan Pasal 32 ayat 4 merupakan kaidah hukum yang isinya memberikan perintah (gebod) dan kewajiban kepada para advokat untuk membentuk organisasi advokat sebelum 5 April 2005. Artinya, ketentuan itu secara attributive memberikan kewenangan kepada para advokat untuk membentuk suatu organisasi advokat selambat-lambatnya dua tahun sejak disahkan dan dinyatakan berlakunya undang-undang tersebut, yakni paling lambat 5 April 2005.

Menurut ajaran kewenangan, pembentukan kedua organisasi advokat itu bukan merupakan perbuatan hukum yang sah dan batal demi hukum, karena pembentukannya telah melampaui batas waktu kewenangan yang ditentukan dalam Pasal 32 ayat 4 (onbevoegheid ratione tempori). Dengan demikian, kedua organisasi advokat itu dibentuk oleh subjek hukum yang tidak lagi memiliki wewenang membentuknya.

Mengingat secara yuridis pembentukan kedua organisasi advokat itu dianggap tidak pernah ada, maka keadaan harus dikembalikan kepada keadaan semula sebelum dibentuknya kedua organisasi advokat itu (ex-tunc) dan segala tindakan yang pernah dilakukan beserta segala akibat hukum yang ditimbulkannya juga dianggap tidak pernah ada.

Oleh karena perintah atau kewajiban yang diberikan undang-undang itu tidak  mungkin dapat dilaksanakan oleh para advokat sesuai batas waktu yang ditentukan, maka timbul persoalan, upaya hukum apakah yang dapat ditempuh untuk keluar dari kemelut hukum tersebut?

Dalam ilmu hukum disediakan beberapa cara penyelesaian untuk menerobos kemelut hukum seperti ini. Pertama, melalui lembaga “pembebasan” (dispensasi, ontheffing, vrijstelling), yakni agar suatu perbuatan yang tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang dapat dilakukan, perlu dimohonkan pembebasan/ kelonggaran terhadap persyaratan tersebut. Sehingga, perbuatan tetap dapat dilakukan, meskipun tidak memenuhi persyaratan. Persetujuan terhadap kelonggaran untuk mengenyampingkan persyaratan itu, haruslah dimohonkan lebih dahulu baru kemudian perbuatan dapat dilaksanakan.

Kedua, melalui lembaga “pemutihan”, di mana perbuatan telah dilakukan lebih dahulu, sedangkan persyaratan/ketentuan tidak mungkin untuk dipenuhi, maka terhadap ketentuan itu diberikan kelonggaran. Sehingga, ketentuan yang telah melampaui batas waktu yang ditentukan dan tidak mungkin dipenuhi dapat dikesampingkan.

Perbedaan kedua cara penyelesaian tersebut terletak pada waktu perbuatan dilakukan dan dipenuhinya persyaratan. Penyelesaian melalui lembaga pembebasan, persyaratan harus lebih dahulu dinyatakan dikesampingkan, karena tidak mungkin dipenuhi,  kemudian barulah perbuatan dapat dilakukan. Sebaliknya, melalui lembaga pemutihan perbuatan telah dilakukan lebih dahulu, kemudian barulah persyaratan dinyatakan dikesampingkan karena persyaratan tidak mungkin dipenuhi.

Dalam tataran teoritis, kedua cara penyelesaian tersebut dimungkinkan untuk ditempuh. Namun dalam tataran praktis, muncul persoalan: lembaga manakah yang memiliki kewenangan memberikan pembebasan atau pemutihan tersebut?

Jika diserahkan kepada MA, apa dasar hukumnya? Melibatkan MA juga menimbulkan resiko mengundang intervensi, sehingga patut dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif terhadap kemandirian organisasi advokat.

Salah satu solusi terbaik adalah memohon legislatif review kepada DPR untuk melakukan revisi terhadap ketentuan Pasal 32 ayat 4 UU Advokat, sehingga akan lahir atribusi baru bagi advokat untuk dapat memulai dan menyelenggarakan kongres, guna membentuk suatu organisasi advokat “baru” sebagai satu-satunya wadah tunggal profesi advokat.

Dengan demikian, akan terbentuk suatu wadah tunggal organisasi advokat yang sah tanpa mengandung cacat hukum. Perpecahan di lingkungan profesi advokat dapat diakhiri dengan cara terhormat, dan seluruh kaidah hukum dalam UU Advokat dapat ditegakkan. Tidak ada lagi yang mengganjal dan semua mulai lagi dari “kilometer nol”.

Akhirnya, konsekuensi yuridis dari pernyataan kedua organisasi advokat itu tidak sah dan batal demi hukum dan segala tindakan yang dilakukannya juga dinyatakan batal demi hukum serta dianggap tidak pernah ada, tentunya akan menimbulkan persoalan hukum yang harus dicarikan solusi hukumnya.

Misal, bagaimana soal pendidikan khusus profesi advokat dan status hukum para advokat muda? Mungkin melalui kongres dapat dibuatkan suatu keputusan yang menyatakan segala kegiatan yang pernah dilakukan kedua organisasi advokat tersebut dinyatakan sah dan mengikat.

Dengan demikian, seluruh persoalan hukum beserta akibat hukumnya dapat diselesaikan. 

Sumber :
http://novelwan.multiply.com/journal/item/64?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem 

23 November 2012

PIDANA BAGI PELAKU PERUSAKAN BARANG MILIK ORANG LAIN


Tulisan ini terinspirasi dari nara sumber yang saya sembunyikan identitasnya. Ia menceritakan bahwa dirinya telah mengalami suatu perbuatan yang tidak menyenangkan dari perlakuan teman dekatnya yang membuang HP (telfon selulernya ke sungai), sehingga saya mencoba membantu menganalisis dari posisi hukumnya. Bagi pembaca yang mengalami hal pengrusakan dari harta/benda milik anda, dapat melakukan upaya hukum yang sama, dan jangan selalu diam berpasrah diri ketika ketidak adilan serta kerugian menimpa pada diri anda. 
Pada dasarnya perusakan barang milik orang lain sangat merugikan pemilik barang, baik barang yang dirusak tersebut hanya sebagian saja atau seluruhnya, sehingga pemilik barang tersebut tidak dapat menggunakan lagi barang miliknya. Selain itu barang yang telah dirusak merupakan sesuatu yang bernilai bagi pemiliknya, dengan terjadinya perusakan barang ini sangat mengganggu ketenangan pemilik barang. Perbuatan. merusak barang milik orang lain merupakan suatu kejahatan. Setiap kejahatan atau pelanggaran yang terjadi tidak hanya dilihat dari sudut orang yang melakukan kejahatan, akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu juga dapat dilihat dari sudut korban sebagai orang yang dirugikan dalam tindak pidana tersebut.
Pasal 406 (1) ditetapkan bahwa:
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan, merusak, membuat hingga tidak dapat di pakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4500,- (empat ribu lima ratus rupiah)”.
                                                    
Unsur-unsur dari Pasal 406 KUHP, yaitu:
                           
A. Unsur Subyektif :
 1) Dengan sengaja ( opzettelijk )
a.  Perbuatan merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang harus dilakukan dengan sengaja
b.  Pelaku harus mengetahui bahwa yang dirusakkan, dibikin tak dapat dipakai atau dihilangkan adalah suatu barang yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain
c.  Pelaku harus mengetahui perbuatan merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang itu bersifat melawan hukum.
B. Unsur Obyektif :
 2) Merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan Suatu benda

a.   Perbuatan merusakkan (beschadingen) dan perbuatan menghancurkan sama-sama menimbulkan kerusakan. Perbedaannya adalah dari sudut akibat kerusakannya saja. Kerusakan benda yang disebabkan oleh perbuatan merusakkan, hanya mengenai sebagian dari bendanya, dan oleh karenanya masih dapat diperbaiki kembali. Tetapi kerusakan akibat oleh adanya perbuatan menghancurkan adalah sedemikian rupa parahnya, sehingga tidak dapat diperbaiki lagi.
b.   Perbuatan membikin tidak dapat digunakan (onbruikbaar maken) mungkin pula berakibat rusaknya suatu benda. Tetapi rusaknya benda ini bukan dituju oleh petindak, melainkan bahwa benda itu tidak dapat lagi dipergunakan sebagaimana maksud benda itu dibuat. Dengan demikian akibat dari perbuatan ini bisa juga tidak rusaknya suatu benda, tetapi tidak dapat lagi dipakainya suatu benda. Tidak dapat dipakai dan rusak mempunyai pengertian yang berbeda.
c.   Perbuatan menghilangkan (wegmaken) adalah melakukan sesuatu perbuatan terhadap sesuatu benda, sehingga benda itu tidak ada lagi. Misalnya sebuah arloji dilempar/dibuang ke sungai. Sesungguhnya arloji itu tetap ada, yakni ada di dalam sungai, tetapi sudah lepas dari kekuasaan bahkan pandangan orang atau seseorang. Lebih dekat pada pengertian tidak diketahui lagi. Berdasarkan pengertian yang luas ini, menghilangkan sudah terdapat pada perbuatan melemparkan suatu benda di jalan, yang kemudian diambil oleh orang lain yang menemukan. Ditemukannya benda itu oleh orang lain, tidak berarti perbuatan menghilangkan belum/tidak terjadi, karena pada kenyataannya perbuatan melemparkan sebagai wujud dari menghilangkan sudah timbul dan selesai dengan lepasnya benda itu dari kekuasaannya.

3) Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
    (cukup Jelas)

4) Secara melawan hukum ( wederrechtlijk )
Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materil) maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Apabila semua unsur dalam pasal tersebut terpenuhi, maka pelakunya dapat dihukum pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau denda paling banyak Rp4.500,-.

Seseorang yang melakukan tindakan pengrusakan terhadap barang milik orang lain tetap dikenakan pidana meski barang yang dirusak telah diganti sebab perbuatan yang telah dilakukan tidak serta merta menghapus pelanggaran hukumnya dalam ketentuan pidana meski barang yang dirusak telah diperbaharui.